BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dakwah memiliki sejarah perkembangan yang
begitu panjang.Akan tetapi dakwah sebagai ilmu diperkirakan baru
dimulai sejak tahun 1960-an.Oleh sebab itu,tidak terlalu sulit untuk
menyusun argumentasi bahwa ilmu dakwah dalam perkembangannya jauh tertinggal
dibandingkan ilmu-ilmu yang lain.
Sekalipun betul secara subtansif,pada tataran implementasi kegiatan dakwah
Islam sudah ada berbarenagan dengan diturunkannya risalah Islamiah yang menjadi
tugas para Nabi dan Rosul Allah SWT,Khususnya pada periode Muhammad SAW.
Pada tahapan sejarah,muncul gerakan yang mungkin dapat disebut sebagai
peletak dasar lahirnya ilmu dakwah.Di antara gerakan itu adalah
adanya kajian dakwah Islam sebagai ssalah satu macam dari bidang ilmu Islam,dan
muncul setelah berdirinya perguruan tinggi Islam,misalnya di Universitas AL-
Azhar di Mesir.Pada universitas ini dikaji dan ditangani dalam bentuk
program studi,dan di antara penulis di kalangan akademisi yang memiliki
perhatian seriaus terhadap dakwah Islam adalah Syeikh Ali Mahfudz,yang
menulis sebuah buku yang berjudul Hidayah al-Mursyidin.[1]
Pejuangan untuk mengembangakan dan menegakkan identitas ilmu dakwah
,tentu bukan persoalan mudah,karena selain diperlukan adanya usaha untuk
membedakan dakwah sebagai kewajiban teologis juga diperlukan adanya penelusuran
landasan ilmiah keilmuan dakwah agar menjadi sebuah disiplin ilmu dan pada
akhirnya dapat dijadikan landasan untuk mengembangkan teori-teori berkaitan
dengan dakwah.
Problem yang kemudian muncul adalah karena ilmu
dipandang sebagai bagian dari pengetahuan dengan karakteristik yang
khas,pengetahuan yang memiliki landasan
ontologis, epistemologis,danaksiologis.Dengan demikian,banguan ilmu dakwah
sebagai sebuah disiplin ilmu,mesti berpijak dan berdiri tegak di atas landasan
ontologis,epistemologis,dan aksiologis yang kemudian menjadi pondasi dalam
pengembangan ilmu dakwah.
B.
Identifikasi
Masalah
Kajian tentang ontologis,epistemologis,dan
aksiologis telah banyak di bahas di berbagai disiplin ilmu.Namun pada makalah yang kami susun ini
berfokus pada kajian ilmiah ilmu dakwah yang di dalamnya dibahas dari
segiontologis,epistemologis,dan aksiologis.
C.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang di atas dapat diambil
rumusan masalahnya yaitu :
1. Apa yang dimaksud dengan ontologis,epitemologis,dan aksiologis?
2. Bagaimana pengertian ontologis,epistemologis,dan aksilologis dari
ilmu dakwah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Landasan Ontologi Ilmu Dakwah
Secara bahasa kata ontologi dibagi menjadi dua yaitu ontos: sesuatu
yang berwujud, dan logos: “ilmu atau teori”.Secara istilah ontologi adalah ilmu
atau teori tentang wujud hakikat yang ada, yang merupakan kenyataan terakhir
baik yang berbentuk jasmani/ konkret maupun rohani / abstrak. Sedangkan kata
dakwah berasal dari bahasa arab “Da’a-Yad’u-Da’wan” yang artinya adalah
menyeru, mengajak. Secara istilah dakwah bisa diartikan sebagai mengajak
manusia untuk mengerjakan kebaikan dan mengikuti petunjuk, menyuruh mereka
berbuat baik dan melarang mereka dari perbuatan jelek, agar mereka mendapatkan
kebahagiaan di dunia dan di akhirat.[2]
Dalam tataran filsafat,ontologi merupakan sebuah caang filsafat
yang berdiri sendiri dan berusaha mengungkap ciri-ciri yang ada,baik
ciri-cirinya yang universal maupun yang khas.Namun,kajian ontologi juga tidak
sebatas mengkaji “yang ada” (being) ,tetapi juga menyangkut penjelasan
sifat-sifat objek,dan hubungannya dengan subyek (perveiver atau
knower),sehingga pada tataran tertentu mempertanyakan tentang realitas obyektif
(objective reality).Pada sisi lain,dalam pandangan Herman suwardi (1996) ,ontologi
merupakan akar dari ilmu atau sains atau dasar dari kehidupan sains,yang
mempelajari hal-hal yang bersifat abstrak.Dasar ontologi dari ilmu berhubungan
dengan materi yang menjadi obyek penelaahan ilmu.
Sehingga ontologi merupakan cabang metafisika mengani realitas yang
berusaha mengungkap ciri-ciri segala yang ada, baik ciri-ciri yang universal,
maupun yang khusus.Ontology suatu telaah teoritis adalah himpunan terstruktur
yang primer dan basit dari jenis-jenis entitas yang dipakai untuk memberikan penjelasan
dalam seperti itu, jadi landasan ontology suatu pengetahuan mengacu apa yang
digarap dalam penelaahannya, dengan kata lain apa ynag hendak diketahui melalui
kegiatan penelahan itu.
Kemudian,di antara kerja dalam rangka menelaah apa yang hendak diketahui
sebagai bagian dari kajian untuk membangun landasan ontologis ilmu dakwah maka sewajarnya dimulai
dari pemahaman tentang ke-apa-an dakwah itu sendiri yang menjadi bagian dari kajian filsafat dakwah .Untuk itu agar
pembahasan ilmu dakwah dapat dilakukan secara benar,kita harus tahu terlebih
dulu melakukan pengkajian tentang apa yang akan dibicarakan,sehingga menjadi
jelas makna hakiki dakwah yang kemudian dijadikan sebagai titik pijak dalam
membangun landasan ontologi ilmu dakwah.
Seperti disebut diatas yaitu bahwa landasan ontology adalah
menelaah apa yang hendak diketahui melalui penelahan itu, dengan kata lain apa
yang menjadi bidang telaah ilmu dakwah. Berlainan dengan agama, maka ilmu
dakwah mengatasi dirinya kepada bidang-bidang yang bersifat empirik dan
pemikiran objek ini tentunya berkaitan dengan aspek kehidupan manusia, sosial,
kehidupan agama, pemikiran budaya, estetika dan filsafat yang dapat diuji atai
diverifikasi. Ilmu dakwah mempelajari dan memberikan misi yang berkaitan dengan
Islam bagi kehidupan manusia.
Menurut Sukriadi Sambas, kajian ontology keilmuan ilmu dakwah yaitu
mencakup haikat/keapaan dakwah, hakikat ilmu dakwah itu dapat dirumuskan
sebagai kumpulan pengetahuan yang berasal dari Allah dan kemudian dikumpulkan
oleh umat Islam secara sistematis dan terorganisir yang membahas interaksi
antar unsur dalam sistem melaksanakan kewajiban dengan maksud mempengaruhi,
pemahaman yang tepat mengenai kenyataan dakwah sehingga akan dapat diperoleh
susunan ilmu yang bermanfaat bagi tugas pedakwah dan khalifah umat Islam.
Berdasarkan objek yang ditelaah, maka ilmu dakwah dapat disebut
sebagai suatu ilmu pengetahuan yang sifatnya empirik maupun pemikiran.secara
garis besar ilmu dakwah mempunyai tiga asumsi mengenai objeknya. Asumsi pertama
bahwa objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, berdasarkan ini
maka kita dapat mengelompokan beberapa objek dalam kegiatan yang serupa kedalam
satu golongan. Asumsi kedua bahwa kegiatan ilmu dakwah disamping menyampaikan
misi ajaran islam juga mempelajari tingkah laku satu objek dalamkegiatan
tertentu. Asumsi ketiga bahwa suatu gejala bukan merupakan suatu kejadian yang
bersifat kebetulan, tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap
dengan urutan-urutan kejadian yang sama, disamping asumsi-asumsi tersebut
dakwah sebagai ilmu atau ilmu dakwah, mengandung dua aspek yang pokok yaitu
aspek fenomental dan aspek structural.[3]
Aspek fenomental menunjukan ilmu dakwah yang mengewejantahkan dalam
bentuk masyarakat proses dan produk, sebagai masyarakat atau kelompok“elit”
yang dalam kehidupan kesehariannya begitu mematuhi kaidah-kaidah ilmiah ynag
menurut paradigma Mertan disebut universalisme, komunise,disent erestedn ess,
dan skepsisme yang teratur dan terarah sebagai proses ilmu dakwah menampakan
diri sebagai aktivitas atau kegiatan kelompok elit dalam upayanya menggali dan
mengembangkan ilmu melalui penelitian, ekspedisi, seminar, kongres dan
lain-lainnya, sedangkan sebagai produk ilmu dakwah dan menghasilkan berupa
teori, ajaran, paradigma, temuan-temuan dan lain sebagainya disebar luaskan
melalui karya-karya publikasi dan kemudian diwariskan kepada madsyarakat dunia.
Aspek struktural menunjukan bahwa
ilmu dakwah disebut sebagai ilmupengetahuan apabila didalamnya terdapat
unsur-unsur sebagai berikut:
1.
Sasaran
yang dijadikan objek untuk diketahui(G egenstand).
2.
Objek
sasaran ini terus menerus dipertanyakan dengan suatu cara (metode) tertentu
tanpa mengenal titik henti. Adalah suatu cara paradiks bahwa ilmu pengetahuan
yang akan terus berkembang justru muncul permasalahan-permasalahan baru yang
mendorong terus dipertanyakan.
3.
Ada
alasan mengapa Geganstand terus dipertanyakan.
4.
jawaban
yang diperoleh kemudian dikumpulkan dalam sebuah sistim.
Disamping aspek-aspek tersebut, maka berbicara strategi perkembangan
ilmu dakwah dapat dilihat kedalam beberapa hal, bahwa ilmu dan konteks
dengansience sehingga menimbulkan adanya gagasan baru yang actual dan relevan,
sedangkan yang berpendapat bahwa ilmu lebur dalam konteks. Tidak saja
merefleksikan tetapi juga memberi dasar pembaharuan bagi konteks.
Hal itu tidak dapat dipungkiri bahwa kini sangat dirasakan
urgensinya untukmenjelaskan dan mengarahkan perkembangkan ilmu dakwah atas
dasar context ofdiscovery dan tidak hanya berhenti atas dasar context of justification.
Strategi pengembangan ilmu dakwah yang paling tepat, kiranya adalah
sebagaiberikut:
1.
Visi
orientasi filosofiknya diletakkan pada nilai-nilai islam didalam mengahadapi
masalah-masalah yang harus dipecahkan sebagai data/fakta objektif dalam satu
kesatuan interogrative.
2.
Visi
dan orientasi oprasionalnya diletakkan pada dimensi sebagai berikut:
a)
Teologis
dalam arti bahwa ilmu dakwah hanya sekedar sarana yang memang harus kita
pergunakan untuk mencapai suatu teleos (tujuan), yaitu sebagaimana ideal kita kita
untuk mewujudkan cita-cita masyarakat islami.
b)
Etis
dalam arti bahwa ilmu dakwah kita harus oprasionalkan untuk meningkatkan,harkat
dan martabat manusia.Sifat etis ini menuntut penerapan ilmu dakwah secara
bertanggung jawab.
c)
Integral
/Interaktif,dalam arti bahwa penerapan ilmu dakwah untuk meningkatkan kualitas
manusia,sekaligus juga diarahkan untuk meningkatkan kualitas struktur
masyarakatnya,sebab manusia hidup dalam relasi baik dengan sesama maupun dengan
masyarakat yang menadi ajangnya. Peningkatan kualitas manusia harus
diintegrasikan kedalam msayarakat yang juga harus ditigkatkan kualitas
strukturnya.
B. Epistemologi Ilmu Dakwah
Dalam memahami epistemologi ilmu dakwah kita dapat memulainya dari
pemahaman epitemologi itu sendiri,dalam ilmu filsafat epistemology bermakna
suatu cabang ilmu filsafat yang membahas tentang metode,tujuan dan hakikat
kebenaran tersebut.
Epistemologi merupakan disiplin yang esensial setelah metafisika
(ontology),bahkan antara dua disiplin (cabang filsafat ) yang masing-masing berdiri
sendiri,saling mensyaratkan kebenarannya.Sebab pemikiran metafisika menjadi
mungkin keberadaannya karena adanya prinsip-prinsip dasar yang menjelaskan
kemungkinan hakikat struktur tentang segala sesuatu yang ada masih dalam kapasitas jangkauan intelektual
manusia.
Mungkin untuk kesempatan kali ini kami tidak akan memabahas
terlalunpanjang tentang epistemologi,karena hal itu membutuhkan penjelasan yang
sangat panjang dan detail ,selain itu masih ada pembahasan-pembahasan yang
lebih penting untuk menjadi pembahasan kali ini.
1.
Sumber
Dakwah Dan Ilmu Dakwah
Pengetahuan
dari teori dakwah yang berkaitan dengan realitas dakwah dari interaksi dua
unsur tersebut bersumber dari wahyu
(otoritas) dan akal intuisi) .Hal itu sejalan dengan cakupan doktrin islam yang
meliputi al-qur’an,hadits dan sejarah islam.
Beberapa
definisi ilmu dakwah menekankan pada aspek dakwah sebagai realitas dakwah,bukan
dakwah sebagai kewajiban setiap muslim.Pandangan dakwah sebagai kewajiban akan
mengarahkan ilmu dakwah sebagai kajian normative.Kajian dakwah meliputi naskah
Al-qur’an dan as sunnah sebagai pijakan utama.
Dari
dua pandangan di atas dapat di ambil suatu kesimpulan yang mendasari ataupun
sumber utama dakwah dan ilmu dakwah itu sendiri ialah sumber pada Al-qur’an dan
As sunnah sebagai pijakan utama dalam dakwah tersebut.
2.
Metodologi
Keilmuan Dakwah
Sebagai
model ilmu dakwah,metode al-istimbal pada dasarnya berpijak pada apa yang
dikembangkan dalam disiplin ilmu fiqih,namun dalam prakteknya harus dilengkapi
pula dengan teori-teori lain yang dikembangkan
dalam ilmu-ilmu keislaman lainnya,sekiranya teori-teori itu memiliki
sambungan penting dalam perumusan dalam teori-teori dakwah di tuntut untuk
mengembangkan teori-teori dari ilmu-ilmu keislaman,agar secara lebih tepat
dapat digunakan untuk mengembangkan dakwah yang menemukan sumber rujukan
utamanya yaitu Al-qur’an dan hadits.
Metode
ilmu dakwah secara garis besar meliputi:
a.
Metode
(manhaj) istinbath, yaitu proses penalaran (istidlal) dalam memahami dan
menjelaskan hakikat dakwah. Untuk manhaj ini, ilmu dakwah dapat menggunakan
ilmu-ilmu bantu seperti: ushul fiqh, ulumul Qur’an, ulumul hadits dan ilmu-ilmu
bantu lainnya terutama yang berhubungan langsung dengan kajian teks.
b.
Metode
(manhaj) iqtibas yaitu penalaran (istidlal) dalam memahami dan menjelaskan
hakikat dakwah/ realitas dakwah/denotasi dakwah dari islam aktual islam
empiris. Ilmu bantu dalam penerapan manhaj ini yaitu; sosiologi, antropologi,
psikologi, ekonomi, ilu politik dll.
c.
Metode
(manhaj) istiqra, yaitu proses penalaran (istidlal) dalam memahami dan
menjelaskan hakikat dakwah melauli pnelitian kualitatif dan/atau kuantitatif
dengan mengacu kepada teori dakwah (produksi mahaj istinbath) dan teori turunan
dari teori utama ilmu dakwah (produksi manhaj iqtibas). Produk manhaj iqtibas
disebut teori menengah, sedangkan produk manhaj istiqra’ disebut teori kecil.[4]
Dalam displin ilmu fikih, pola pemahaman dan pemaknaan itu
dibedakan dibedakan kedalam tiga kelompok utama:
a.
Pola
penalaran bayani yaitu pola penafsiran nash yang bertumpu pada arti kata (dilalat)
dan kaidah kebahasaan. Dalam pola ini, dibahas kapan suatu kata (lafadz)
dianggap ‘am (universal) khas (partikular), atau musyfarak (ambiguitas) dan
seterusnya; kapan suatu kata dinggap wadhih (jelas; artinya), mubham (tidak
jelas artinya) dan berbagai persoalan
lainnya.
b.
Pola
penalaran ta’lili yaitu pola penafsiaran nash yang bertumpu pada illat.
Maksudnya, suatu ayat atau teks hadist tidak dipahami hanya berdasar arti
bahasanya saja, tetapi lebih dari itu. Pola ini berusaha mencari illat (kausa
efektif), baik ilat yang dimaksud itu secara tekstual tertuang dalam nash atau
tidak termaktub didalamnya secara eksplisit.
c.
Pola
penalaran istislahi ialah pola penafsiran nash yang berusaha menghimpun
berbagai ayat dan teks hadist yang paling berkaitan dan kemudian darinya
ditarik suatu prinsip umum. Prinsip umum ini dideduksikan kepada kasus-kasus
yang tidak bisa diselesaikan melalui nash secara spesifik.[5]
Metode ilmu dakwah adalah cara kerja yang di tempuh ilmu dakwah dalam
menggali,merumuskan dan mengembangkan teori-teori dakwah atau cara kerja untuk
memahami objek kajian ilmu dakwah.Hal ini sejalan dengan tujuan ilmu
dakwah,yaitu untuk menggali sebanyak mungkin teori-teori dengan aktivitas
dakwah Islam.
Metodologi
ilmu dakwahmemiliki tujuan yaitu untuk mengembangkan teori-teori dakwah dan
ilmu keislaman dalam rangka untuk mengeksiskan agama Islam di dunia.
3.
Sruktur
Teori Dakwah
Menurut
teori tahapan dakwah,Rasulullah dan para sahabatnya telah berdakwah dalam tiga tahapan
dakwah Yaitu:
·
Tahap
takwin adalah tahap pembentukan masyarakat dakwah dalam bentuk internalisasi
dan sosialaisasi ajaran tauhid.
·
Tahapan
tandzim (tahap penetapan dakwah) .Tahap ini merupakan hasil internalisasi dan
sosialisasi yang telah di lakukan pada tahap pertama.
·
Tahap
pendelegasian adalah tahap pelepasan dan kemandirian.Tahap ini di reprentasikan
dalam penyelenggaraan haji wada.
·
Sruktur
teori dakwah berkaitan dengan pemberian kerangka berfikir (filosofis) mengenai
unsur-unsur dakwah,kerangka berfikir (teoritis) mengenai kontes dakwah dan
teknis menenai interaksi antara unsur yang melahirkan problem.
4.
Stuktur Keilmuan Dakwah
Ilmu
dakwah disebut juga disiplin ilmu dakwah,karena ilmu dakwah merupakan bidang
studi yang telah memiliki objek,sistem dan metode tersendiri.
Kemudian disiplin ilmu dakwah dapat
di strukturkan sebagai berikut:
a.
Ilmu
dasar teoritis yaitu disiplin imu yang memberikan kerangka teori dan metodologi
Islam.
b.
Ilmu
teknik/terapan yaitu disiplin ilmu yang memberikan kerangka teori dan
metodologi dakwah Islam.
Bagan teknis / ilmu terapan terdiri
dari empat kelompok yaitu:
a.
Teknologi
tabligh yaitu teknis komunikasi dan penyiaran islam
b.
Teknologi
irsyad yaitu ilmu teknis bimbingan dan penyuluhan islam
c.
Teknologi
tadbir yaitu ilmu teknis manajemen dakwah
d.
Teknologi
tatwir yaitu ilmu teknis / terapan pengembangan islam.
Dari keterangan di atas kita
simpulkan bahwa struktur teori dakwah memiliki tiga kerangka berfikir:
a.
Filosofis;mengenai
unsur dakwah/penyiaran siaran Islam
b.
Teoritis;mengenai
konteks dakwah/ilmu teknis bimbingan
c.
Teknis
engenai unsur interaksi dalam masyarakat.
C.
Aksiologi
Ilmu Dakwah
Secara etimologis,Istilah aksiologi berasal dari Bahasa yunani
Kuno, terdiri dari kata “aksos” yang berarti nilai dan kata “logos” yang
berarti teori.Jadi aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai.
Aksiologi adalah cabang ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai,pada
umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan.
Sehingga dapat kita simpulkan bahwa aksiologi berfokus pada nilai
yang ada pada suatu ilmu itu sendiri.Menurut richard Bender : Suatu nilai
adalah sebuah pengalaman yang memberikan suatu pemuasan kebutuhan yang diakaui
bertalian dengan pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian,atau yang
menyumbangkan pada pemuasan yang demikian.Dengan dmikian kehidupan yang
bermanfaat ialah pencapaian dan sejumlah pengalaman nilai yang senantiasa
bertambah.
Sebuah Telaah di diitinbath
dari penafsiran QS.Ali Imran [5] ayat 7,190-194,dan dari Ali Abd al-Azhim dalam
tulisannya Efistemologi dan Aksiologi Ilmu Perspektif Al-qur’an,dan Imam Abu
Bakar al-Ajiri dalam Akhlaq al-Ulama .Dari beberapa penjelasannya dipahami
bahwa karakteristik ilmuawan dakwah dituntut agar menjalani normatif
preskriptif dan normatif proslriptif
yang terdiri dari:
1.
Psiko-etika
teologis,yaitu meyakini kemahaesaan Allah SWT,allah Maha Pengada yang ada
sebagai objek tahu;tauhid uluhiyah;tauhid rububiyah;meninggalkan
syirik;meyakini Allah menurunkan wahyu;dan adanya kitab Allah SWT;melaksanakan
syari’at islam;mengimani adanya hari pembalasan;dan istiqamah mempertahankan
keyakinan serta mengharap ridho Allah SWT.
2.
Psiko-etika
intraindividu yaitu mensyukuri nikmat Allah berupa akal dengan menoptimalkan
penggunaannya berupa kreatif-intelektual dan kreatif-intuitif;khusu’ dalam
shalat menghindarkan penyakit kerasnya hati, membersihkan dan mensucikan
jiwa,menaaati nasihat,beramal shaleh.
3.
Sosio-etika
religius,yaitu tidak mengikuti berpikir paradoksial ala Yahudi,menegakkan
perkara yang ma’ruf dan menjebol perkara yang munkar,menjauhi langkah-langkah
syaitan,menentan ajakan taklid buta,mewujudkan keluaga sakinah,mawadah
warrahmah,berijtihad di jalan Allah,menjaga kemurnian tauhid memperoleh ibrah
dari sejarah.
Sehingga dari tiga poin di atas dapat di simpulkan bahwa ciri-ciri
orang yang mengemban amanah sebagai juru dakwah memiliki tiga hubungan yaitu:
1)
Berkaitan
dengan sang Pencipta yaitu Allah SWT
2)
Berkaitan
dengan seseorang itu sendiri
3)
Berkaitan
dengan diri sendiri dengan terhadap lingkungan sosial beragama.
Bab III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dalam tradisi keilmuan keislaman,khususnya yang berkaitan dengan
landasan ilmiah ilmu dakwah setidaknya ada tiga landasan yang harus ada yaitu
landasan ontologi,epistemologi,dan aksiologi yang dimana ketiga landasan ini
menyangkut apa,bagaimana,dan untuk apa suatu ilmu.
Dalam perspektif epistemologi terdapat metodologi ilmu dakwah yang memiliki
tujuan yaitu untuk mengembangkan teori-teori dakwah dan ilmu keislaman dalam
rangka untuk mengeksiskan agama Islam di dunia.
DAFTAR
PUSTAKA
Amin,
Samsul Munir. 2008. Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Islam.Jakarta.Amzah.
Dermawan,
Andi. 2002. Metodologi Ilmu Dakwah.Yogyakarta.LESFI
Enjang dan Aliyudin.2009.Dasar-dasar
Ilmu Dakwah;pendekatan filosofis dan
praktis.(Bandung:Widya Padjadjaran)
Saputra, Wahidin. 2011. Pengantar Ilmu Dakwah.
Jakarta.
[1]Enjang dan Aliyudin,Dasar-dasar ilmu dakwah,(Bandung:Widya
Padjadjaran,2009),hlm.15-16
[2]Abdul Kadir Sayid Abdul Rauf, Dirasah
Fi Dakwah al-Islamiyah, Kairo: Dar El-Tiba`ahAl-Mahmadiyah, 1987
[3]Andy Darmawan,dkk.Metodologi Ilmu Dakwah,(Yogyakarta:LESFI,2002),hlm.42-47
[4]Syukriadi
Sambas, Pokok-Pokok Wilayah Kajian
Dakwah Islam: hlm. 177.
[5]Wahidin
Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah
(Jakarta, 2011) hlm. 111
Comments